hai semuannya kali ini saya akan membagikan cerpen atau cerita pendek karya Irfan Ys untuk link sumber saya taruh dibawah
nama cerpen : Sekarang aku tahu
penulis : Irfan Ys
dipublikasikan : 12 agustus 2016
SEKARANG AKU TAHU
#Cerpen
AKU hanya tertunduk "perih" saat tamparan ayah mendarat dipipiku. Bahkan, aku tak sanggup memandang matanya yang seolah hendak menelanku mentah mentah. Ayah begitu marah setelah mengetahui kenyataan bahwa aku sering membolos dari sekolah. Memang, sudah dua minggu ini tanpa sepengetahuannya aku ikut bekerja dibengkel diseberang pasar. Oya, mungkin aku harus menceritakan sekilas bengkel itu. Bang Madi si empunya bengkel adalah seorang mantan pembalap. Dalam suatu kecelakaan, ia luput dari "maut" walau akhirnya ia harus merelakan sebelah kakinya. SETELAH pensiun dari balapan, bang Madi nggak bisa jauh jauh dari urusan mesin serta kepulan asap knalpot. "Saya ingin berbuat sesuatu dengan ilmu yang saya bisa." tutur bang Madi suatu ketika. Bengkel motor yang tak pernah sepi dari pengunjung itu kebanyakan pegawainya adalah anak anak muda "tanggung" yang putus sekolah disebabkan karena tiada biaya. Akhirnya mereka bekerja fokus ditempat bengkel bang Madi.
Dan hari ini adalah dua bulan "ayah" diberhentikan dari pabrik batu baterai tempatnya bekerja. EFISIENSI itulah istilah mereka merumahkannya. Kedengarannya klise memang, tapi "buruh" kecil seperti ayah bisa apa? Demo, unjuk rasa? Sekarang sudah tak ada yang mau dengar lagi. Kepekaan itu mendadak menjadi sesuatu yang langka, menguap entah kemana, bahkan "nurani" pun tak mampu lagi bersuara. Setelah ayah kena PHK, kehidupan keluarga praktis hanya bertumpu pada upah keterampilan "ibu" menjahit pakaian pesanan tetangga dan pesangon ayah yang tidak seberapa besar itu. AKU bisa "mengerti" kenapa hari ini ayah begitu murka, mungkin harga diri ayah merasa terusik karena mencari nafkah adalah tugasnya. Sebagai kepala keluarga ayah tak sanggup menanggung malu. Setelah kejadian itu, akhirnya "ayah" memutuskan bekerja dipelabuhan sebagai kuli panggul, mengangkut karung karung beras yang baru turun dari kapal.
Ada haru menyergap kala menyaksikan kerja kerasnya. Walau begitu, keluh kesah itu tak pernah terdengar meski dalam keletihannya sekalipun. Kadang ia nampak tidak memperdulikan kesehatannya. Tapi dengan apa yang dilakukannya sekarang, ayah bisa berdiri dengan kepala "tegak" didepan istri serta kami anak anaknya, penuh kebanggaan. @ Allah Karim MATAHARI mulai merangkak naik, hangatnya sebentar lagi akan berubah menjadi terik yang menyengat. Memang akhir akhir ini udara terasa lebih panas, kemarau pun menjadi lebih panjang dari tahun tahun sebelumnya. Itu diakibatkan efek pemanasan "global" karena pengaruh el-Nino, begitu penjelasan orang BMG. Langkahku terhenti diperkampungan sebuah rumah yang sudah lama kukenal, rumah yang telah banyak memberikan kenangan. "Ah, sudah lama aku tak pulang. Sepeninggalanku ternyata suasana rumah tak banyak berubah, kecuali halaman itu sekarang dipenuhi bunga bakung yang sedang mekar," batinku.
Oya aku lupa, selepas SMA aku lolos UMPTN dan diterima diperguruan tinggi teknik ternama di Bandung. TADINYA setelah lulus SMA aku mau langsung mencari kerja saja, tapi ayah memaksa. "Ayah pikir kamu mampu untuk meneruskan kuliah, Wim!" Sebut namaku Wimar ucap ayah kala itu. "Masalah biaya biar ayah yang pikirkan, kamu nggak usah khawatir!" Ayah coba kembali menyakinkanku. Walau dengan "hati" sedikit gundah, akhirnya aku pergi ke Bandung untuk meneruskan kuliah. Setiap bulannya ayah mengirimku uang.
Walau jumlahnya tidak besar, ya cukuplah buat makan dan bayar keperluan kuliah. Semester semester "awal" kuliah memang terasa berat. Tapi tahun kedua aku mendapatkan beasiswa karena nilaiku diatas rata rata. Assalamu'alaikum...." Tanganku membuat ketukan teratur dipintu seraya mengintip lewat kaca jendela. "Wa'alaikumsalam Warahmatullah...." Seorang gadis cantik dengan jilbabnya muncul dari balik pintu. "Mas Wim....!" Tyas adik perempuanku satu satunya menghambur kepelukanku dengan senyum dan matanya berkaca kaca. Ia menangis terisak dipelukanku, mungkin haru menahan rindu. Kusapa ia; "Bagaimana kabarmu, Ty?" tanyaku mengusap air matanya. Aku pun berlinang. Entah kenapa, tiba tiba mata ini, ingin menangis karena melihat wajahnya mirip ibu. "Alhamdulillah Tyas baek baek aja, Mas." ucapnya lembut percis ibu, pikirku.Tyas melepaskan pelukannya. Sejurus kemudian ia menarik tanganku kekamar ibu.
Jam segini ibu biasanya mengerjakan shalat dhuha. "Ibu, lihat siapa yang datang?" Tyas saking semangatnya setengah menyeretku kekamar ibu. "Siapa, Ty?" ibu merapihkan mukenanya. "Wimar, Bu." jawabku menahan rindu. Kucium dan kupeluk ibu yang menatapku penuh kasih sayang erat erat. Aku selalu mengingat tatap hangat ibu yang selalu dapat meluluhkan hatiku ketika aku membuat sebuah kenakalan, hingga aku tidak mengulanginya lagi.
JARI JARI yang selalu membelaiku itu tampak kurus, garis garis ketuaan diwajahnya kian tambah, kecantikannya kian memudar dimakan usia. "Alhamdulillah lancar, berkat doa ibu." jawabku atas pertanyaan ibu mengenai kuliahku. Seperti dugaanku sebelumnya, ibu menampakkan air muka seolah tak terjadi apa apa.
Padahal, aku telah mengetahui semuanya dari Mbak Din, sepupuhku. Bahwa rumahku ini akan disita oleh pihak bank jika pinjaman itu tidak dilunasi. Untuk mencukupi "kebutuhanku" serta biaya sekolah adik adikku, rupanya ibu menjadikan rumah dan tanah ini sebagai jaminan kepada sebuah bank. "Sudah, Bu. Wim sudah tahu semuanya." Kupegang tangan ibu erat.
Dari sudut matanya mengalir sungai kecil.
WAKTU terus berganti, semua bayangan itu begitu jelas dalam benakku. Setiap detil peristiwanya masih tersimpan rapih dalam memori otakku. Aku hanya percaya, setelah "kesusahan" pasti ada "kemudahan" begitu janji-Nya. Alhamdulillah, seiring waktu segala kesulitan itu perlahan mulai mencair. Saat ini aku bekerja diperusahaan yang cukup besar dengan jabatan yang cukup lumayan. Perlahan aku mulai menggantikan peran ayah dalam keluarga.
Ibu kudorong untuk membangun "butik" kecil kecilan. Kini butiknya memperkerjakan tak kurang dari sepuluh pegawai. ADIK ADIKKU Tyas dan Dimas, kedua duanya tak terasa sekarang sudah duduk dibangku kuliah. "Terima kasih, Ayah. Kau telah mengajarkanku arti sebuah tanggung jawab." suaraku tertahan, tangisku pecah. Tak kuasa aku membendung air mata ini. "Sekarang Aku Tahu" ternyata memikul tanggung jawab itu lebih berat dari menahan rasa sakit karena tamparan. Butir butir bening itu "berjatuhan" dari mataku tanpa bisa kucegah. Tanganku meraih bunga bunga yang telah mengering diatas pusara ayah. Terima kasih, Ayah. Kau telah menamparku hari itu!"
Oleh: Irfan Ys
sumber : https://plus.google.com/112506585802199191954/posts/GS8pWk7SazG
sumber : https://plus.google.com/112506585802199191954/posts/GS8pWk7SazG